Minggu, 26 Februari 2012

Pedagang Undur-undur ini berhasil sekolahkan anaknya hingga S2

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/03/23/1844354p.jpg
Pada hari Selasa sore tgl 23 Februari 2010 di tengah gerimis, Ibu Ernawati (40thn) mulai membereskan dagangannya. Sebuah kotak plastik yang terisi pasir, tempat undur-undur dagangannya disimpan dan ditutupnya rapat-rapat. "Supaya nggak kena air hujan mbak, kalau kena air, bisa mati," kata Ibu Ernawati yang ditemui oleh wartawan Kompas di pasar burung Jatinegara, Jakarta Timur.

Ernawath dan suaminya sudah sejak thn 2005 menjual undur-undur, sejenis serangga yang hidupnya di pasir. Sebelumnya selama hampir 20 tahun, dia hanya menjual jangkrik-jangkrik makanan burung. Memang kedengarannya sangat remeh dan ganjil karena profesinya sebagai penjual serangga. Tapi jangan menganggap enteng karena dari berdagang serangga sehari-hari di pasar burung Jatinegara ini, Ibu Ernawati berhasil menyekolahkan anak bungsunya hingga S2 di salah satu universitas swasta.

"Itu anak saya, dia mau berangkat kuliah, tahun lalu S1-nya sudah lulus, sekarang lagi kuliah S2," ujarnya dengan bangga sembari menunjuk anaknya yang sedang ngobrol dengan ayahnya. Setiap hari, Ibu Ernawati dan suaminya memarkir gerobak berisi serangga milik mereka di pinggir jalan di pasar burung Jatinegara. "Ya, kalau lagi ada penertiban kita lari dan kabur karena nggak tau mau jualan dimana lagi," jelasnya.

http://arulalmy.files.wordpress.com/2009/11/undur-undur.jpg

undur undur

Undur-undur dagangannya, menurut Ernawati banyak dicari pembeli untuk obat berbagai penyakit. Seekor undur-undur bisa dijual dengan harga rata-rata Rp 300-1000. "Tergantung lagi banyak apa nggak dan tergantung yang beli itu cerewet apa nggak mbak," ujarnya.

Untungnya kata Ernawati setiap hari selalu saja ada pembeli yang memborong undur-undur dengan harga ratusan ribu rupiah. Undur-undur tersebut, kata Ernawati dia dapatkan dari pemasok undur-undur di Jawa Tengah yang selalu rutin mengirimkan undur-undur tsb ke Ibu Ernawati. Ketika ditanya mengapa tidak mencari undur-undur sendiri atau membeli dari pemasok di Jakarta, Ibu Ernawati hanya menjelaskan, "Jangan mbak, khan kasihan nanti yang di Jawa, mereka kan sudah langganan kami dari dulu, kasihan," tegasnya.


Tak lama setelah berbincang-bincang, Ibu Ernawati selesai membereskan dagangannya. Suaminya mengajak dia pulang karena hujan mulai deras. "Mari mbak, kami pulang dulu, mampir ke rumah yuk, dekat dari pasar mbak, cuma lurus belok kanan, di jalan Mede," ajak Ibu Ernawati si penjual undur-undur yang ramah dan berhasil menyekolahkan anaknya sampai S2 itu.

Haruskah Indonesia Meniru Finlandia jika ingin maju?

Tahukah anda semua negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Bukan Amerika dengan Harvard-nya, bukan Jerman atau Perancis, atau juga Indonesia dengan ITB-nya…Negara itu adalah FINLANDIA ! Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa.
Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika.

Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.

Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi No. 1 di pentas dunia?
Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke Fakultas Hukum bahkan Fakultas Kedokteran!

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia.

Pada usia 18 tahun seorang siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi, dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!

“Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri”, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan PISA, pada sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki.

Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan lain sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar.

Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.

Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
Sangat berbeda sekali dengan halnya yang tejadi di indonesia. Guru kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Gaji nya pun sangat kecil dan tidak layak jika di bandingkan dengan pengorbanan sebagai Guru.Yang Kedua, di Indonesia siswa yang berbakat dan berprestasi di luar negeri kurang mendapatkan respek dan antusias dari pemerintah. Pemerintah malah terkesan mengayomi anggota DPR yang jelas2 tidak jelas pekerjaan nya dan cuma bisa menghambur-hamburkan duit negara saja..